Jumat, 21 Januari 2011

PETUALANGAN KE AIR TERJUN MONTEL

Cerita ini terjadi saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Tepatnya di SD 1 Colo dan tengah menjalani masa belajar di kelas 6. Hari Sabtu, tidak ada pelajaran seperti biasa karena sedang dalam masa-masa paska Ulangan Umum Cawu (UUC) 1. Paling-paling cuma membahas soal-soal UUC kemarin secara mandiri bersama teman-teman. Sekitar pukul 09.00 kami menyudahi acara pembahasan soal karena ada intruksi dari Bu Tumiyati, wali kelas 6, untuk mengikuti kegiatan kerja bakti lingkungan sekolah. Kebetulan aku beregu dengan Tri dan Sofik yang mendapat jatah membersihkan bagian samping sekolah tepat di pinggir jalan. Di sela-sela aktifitas itu, kami juga tengah asyik membahas rencana kegiatan untuk mengisi waktu liburan nanti. Sofik mendadak punya ide kalau liburan nanti diisi dengan rekreasi ke air terjun Montel saja. Selain murah karena berada di kawasan sendiri, juga tak kalah menariknya dibanding tempat-tempat wisata lain di Jawa. Ya, seperti menengok kebun sendiri. Tri mengangguk tanda menyetujui ide itu dan aku sendiri mengabulkan juga usulan itu. Tiba-tiba Ari datang dan tak lama kemudian Agus menyusul. Kami menyampaikan rencana mengisi liburan itu ke mereka. Tanpa pikir panjang Ari dan Agus menyetujui saja dan akan ikut bersama kami.
Hari Minggu, aku, Tri, dan Sofik sudah lama berkumpul lebih dulu di depan pintu gerbang SD 1 Colo. Lokasi SD 1 Colo memang sangat dekat dengan rumah kami, jadi SD 1 Colo adalah lokasi yang tepat untuk tempat ngumpul. Kami duduk-duduk di samping gerbang yang masih penuh dengan tanaman bunga sambil menunggu kedatangan Ari dan Agus. Tak lama kemudian mereka datang dan tanpa berargumen lagi, kami berlima segera berangkat menuju air terjun Montel. Kami berlima adalah satu grup yang menamakan diri sebagai power rangers. Sesuai film yang sedang naik daun waktu itu.
Dengan berjalan kaki, kami menyusuri gang meninggalkan SD 1 Colo dan memasuki kawasan jalan raya dekat terminal atas. Kemudian berlanjut menyusuri jalan raya yang mengarah ke pesanggrahan. Cukup ramai karena hari itu hari Minggu. Banyak wisatawan yang berlibur ke Makam Sunan Muria, Ke Air Tiga Rasa Rejenu, atau ke air terjun Montel seperti yang akan kami tuju. Kami istirahat sebentar di pesanggrahan itu karena jalannya lumayan nanjak. Mengatur nafas sambil berteduh di bawah pohon pala yang rindang dan sengaja mencicipi buah pala yang jatuh. Rasanya...getar, pahit, dan asam. Perjalanan kami lanjutkan dan sampailah pada sebuah pilihan. Ada beberapa jalan untuk mengakses kawasan air terjun Montel. Paling tidak ada tiga jalur yang sering di lewati orang. Satu jalur diantaranya adalah jalan pintas yang sering dilewati penduduk setempat. Dan dua jalur lainnya adalah dua jalan yang nantinya akan bertemu pada satu titik dan harus berhadapan dengan loket retribusi. Biasanya para wisatawan yang sering kecele. Alih-alih pingin lewat jalan pintas yang nggak dipungut biaya retribusi, eh akhirnya kena juga. Sebenarnya kalau kami melewati loket retribusi kami tetap bisa masuk tanpa bayar. Karena penjaga loket itu sudah hafal dengan wajah-wajah kami yang kampungan. Maksudnya wajah yang masih sekampung sendiri. Pun begitu kami justru memilih jalan pintas yang tidak umum. Kami justru lebih suka menyusuri hutan lebat, menyusup di antara kebun kopi yang perdu, menapaki jalan setapak di antara tebing yang tinggi dan jurang yang dalam. Wuih....ngeri pokoknya. Di pinggir jalan setapak yang kami pijak selangkah demi selangkah, mengalir sungai pengairan kecil. Sesekali kami memainkan sungai kecil itu untuk mencuci muka. Airnya begitu jernih dan alami. Meski kami menikmati suasana perjalanan itu, rasa was-was pun tetap ada. Ketakutan utama adalah ular. Di tempat serimbun itu, tak terelak lagi pasti ada berbagai jenis dan ukuran ular yang hidup di situ. Sekali kami dipertemukan dengan ular hitam yang sedang melintas  di jalan setapak yang akan kami lewati. Entah ular apa itu. Kami berusaha tidak mengganggunya. Selain ular, kami juga takut dengan ulat. Ini bukan ulat sembarang ulat, tetapi sejenis ulat bulu yang tebal berwarna hitam. Kira-kira besarnya mencapai 2 kali besar jari tengah orang dewasa. Kata orang tua, ulat ini sangat berbahaya karena racun yang ada di bulu-bulunya bisa membuat alergi. Jika terkena kulit, langsung bereaksi yaitu gatal-gatal dan akan mengalami pembengkakan dan lama sembuhnya, bahkan sampai bertahun-tahun. Mungkin karena efek yang ditimbulkan itulah maka ulat itu dinamakan ulat Taon. Sialnya dalam perjalanan itu kami juga sempat bertemu dengan ulat itu sedang hinggap di salah satu dahan yang lumayan jauh dari tempat kami berdiri. Sofik yang pertama kali melihatnya sontak membuat kami kaget dan jantung berdegup kencang teringat cerita orang-orang tua yang pernah menyaksikan kehebatan ulat itu. Kami jadi tahu sosok ulat itu. Kewaspadaan pun harus tetap terjaga. Ketakutan berikutnya adalah takut terperosok ke dalam jurang yang begitu dalam. Kami sudah melihat dalamnya jurang itu oleh aliran sungai yang deras terlihat sangat jauh dan kecil dari ketinggian. Lebih-lebih jika melihat lereng yang menjulang di samping lereng yang kami pijak. Kami terasa sangat kecil di bandingkan alam semesta ini.
Jalan setapak masih belum berakhir, kira-kira jalan pintas itu justru lebih jauh dari jalan normal menuju Montel. Memang kami menyebutnya jalan pintas karena memang terkesan lebih seru aja. Berbeda dengan orang lain terutama wisatawan. Kami merasa lebih tahu, lebih pintar, karena memiliki jalan sendiri yang tak banyak diketahui orang. Kami bangga dan puas terutama bisa menghindari loket retribusi sementara yang lain tetap harus menerima karcis masuk. Memang jalan ini sudah sering kami lewati, tetapi ada yang tak biasa saat perjalanan kali ini. Merupakan ketakutan yang selanjutnya yaitu bertemu pohon yang besar dan bentuknya tidak umum. Diameternya kira-kira 4 meter dan tinggi entah berapa kami tidak berani menengok ke atas. Dalam hati anak-anak kami masih percaya saja dengan hal-hal yang gaib. Dan kami mengklaim bahwa pohon itu pasti ada penghuninya. Mulut komat-kamit membaca ayat Quran pun gencar kami ucapkan berharap penghuni pohon itu tidak menggangu kami. Dan saat kita lewat kali itu, pohon itu sudah tumbang. Mungkin sudah tidak kuat menahan beban beratnya. Pohon raksasa itu tumbang menghalangi jalan setapak dan kami harus menyusup di bawah pohon yang masih menyisakan ruang di jalan setapak. Kami nggak berani menunggangi pohon itu saking besarnya. Kalau orang jawa menyebutnya dengan istilah “girap-girap” yang bisa terbawa sampai ke mimpi.
Tak lama kami sudah merasakan hawa yang sangat sejuk. Itu pertanda kami sudah dekat dengan aliran sungai yang berasal dari air terjun Montel. Meskipun jalan pintas tadi tidak bisa langsung mengakses air terjun. Kami harus berjalan ke utara menyusuri derasnya aliran sungai yang berlawanan arah dengan kami. Kira-kira jaraknya 500 meter untuk mencapai air terjun. Jalan pintas yang kami lalui nantinya akan bertemu dengan aliran sungai yang di situ pula ada sebuah rumah kecil berdiri yang sangat misterius. Rumah itu kami sebut rumah Mbah Imam. Pertama kali melintas di situ kami tidak berani masuk. Apalagi bersapa dengan pemiliknya. Pemiliknya adalah Mbah Imam, makanya kami menyebut rumah itu dengan sebutan rumah Mbah Imam. Suatu ketika kami bertemu dengan Mbah Imam dan akhirnya kami menjadi akrab karena kami selalu berkunjung ke rumah yang dibangun di atas sungai itu. Sosok Mbah Imam yang khas dengan rambut gondrongnya memang terlihat misterius, tidak banyak yang kami ketahui lebih rinci tentang biografinya. Beliau cenderung pendiam tapi murah senyum. Kami tidak terlalu banyak komentar saat bertatap muka dengan Mbah Imam. Namun dari gelagatnya, beliau adalah orang yang ramah dan berwibawa. Beliau juga senang menerima kedatangan kami. Yang kami tahu adalah Mbah Imam itu pemilik rumah itu sekaligus sebagai penjaga alam di kawasan itu. Rumahnya memang sangat terbuka dan hanya beberapa saja yang tertutup. Beliau juga sendirian saja menempati rumah itu.Beberapa lukisan dan seni kaligrafi juga turut memberi nuansa ramai di beberapa titik ruangan. Selebihnya adalah anyaman-anyaman bambu yang membentuk dinding. Itu sedikit cerita tentang Mbah Imam yang menjadi salah satu bagian cerita hidup masa kecil.
Sesampainya di aliran sungai itu, kami langsung menuju lokasi kolam buatan langganan kami. Kami menyebutnya kedung. Dalamnya sampai dada orang dewasa dan luasnya kira-kira 25 m2. Itulah puncak kesenangan kami. Berenang-renang, melompat dari ketinggian dan menyebur ke air, berjam-jam pun berlaku juga hingga lupa waktu. Satu hal yang menarik adalah menangkap udang. Di sungai yang dangkal dan tak terlalu deras di situ banyak sekali udang yang bersembunyi di balik batu. Jika kami berhasil menangkapnya kami segera mengumpulkan dan nantinya untuk disantap setelah dibakar ala sate. Hummm... yummy! Biasanya kalau kami berada di kolam itu, tiba-tiba banyak teman-teman yang lain pada nyusul. Terutama adalah kakak-kakak kelas kami yang sudah melanjutkan sekolah di SMP. Seperti Mas Untung, Mas Nanda, Mas Deni, dan yang lainnya. Kami berbagi keceriaan betapa bahagianya masa kanak-kanak waktu itu. Meski ada yang suka jahil, yang suka kencing dari atas kolam mengotori kolam tempat kami berenang. Tapi derasnya air, hal itu tak membuat kami khawatir. Sebentar juga ilang air kencingnya. He..he...he.....
Jika waktu sudah menunjukkan waktu sore saatnya kami pulang. Karena kami, terutama  aku dan Tri, tidak pernah sama sekali minta ijin jika kami mau ke Montel. Kalau minta ijin takutnya justru nggak diijinin. Jam 03.00 sore harus sudah beranjak dari Montel. Biasanya Kami memilih jalan yang cepat saja yaitu jalan yang umum dipakai. Tapi waktu itu kami mencoba memilih jalan yang bisa di bilang gila. Jalan setapak yang mengikuti arus sungai menuju air terjun yang biasanya kami lewati untuk pulang, kali ini justru kami memotong jalan memilih jalan yang tak wajar. Kami harus mendaki tebing yang tinggi di antara semak-semak belukar yang sepertinya tak pernah dilewati orang. Kami tidak menyadari nantinya itu akan menjadi jurang yang mengerikan setibanya kami sampai di puncak. Sungguh gila. Tebing itu murni lereng curam tanpa terasering. Jika kami terperosok, mungkin nyawa taruhannya. Kami akan terperosok hingga dasar jurang yang sangat dalam. Melewati bebatuan yang sekedar menempel di tanah lereng-lereng, yang sewaktu-waktu bisa terlepas dan menimpa kami. Semak-semak berduri juga banyak tumbuh liar di tebing itu. Dan aku sempat sampai ingin menangis ketika temanku yang juga sepupuku sendiri, Mas Tri, harus terperosok jauh ke bawah saat rumput yang dipegangi untuk membantu menaiki tebing tidak kuat menahan beban. Rumput itu tercabut dan Mas Tri harus terperosok ke bawah. Untungnya, dia sempat berhenti di tanah yang agak membentuk terasering yang jauh dari kata rata. Pelan-pelan dia terus berjuang untuk naik. Aku dan Sofik menungguinya hingga kami berkumpul lagi. Aku sudah cukup merasa lega karena tak berapa lama kami sudah mencapai sebuah jalan yang umum dilewati orang. Pun begitu degup jantung masih begitu kencangnya ingin menjebol dadaku. Kami berlima tertawa puas setelah berhasil menaklukkan tebing itu. Kami duduk santai di tepi jurang sambil meredakan nafas yang terengah-engah. Muka kami terlihat memerah semua dengan kucuran keringat yang deras. Mendadak kulit kami menjadi terasa perih terlihat bekas sayatan-sayatan tipis oleh alang-alang. Perih sekali dan baru terasa saat kami bersantai duduk-duduk memanjakan diri yang kelelahan. Kami rasa sudah cukup untuk melepas lelah, kami segera melanjutkan perjalanan agar cepat sampai di rumah. Pendakian yang gila tadi membawa kami ke sebuah loket pembayaran retribusi untuk segera keluar dari kawasan yang menakjubkan itu. Menjadi sebuah kepuasan tersendiri dan tak kan pernah terlupakan oleh waktu hingga kapanpun waktu berlalu. Meski sesampainya di rumah harus kena marah karena pergi tidak minta ijin dan menjadi bahan pencarian orang tua. Pun begitu, kami tidak pernah merasa kapok hingga kedewasaan menuntun kami untuk sekedar mengingat-ingat masa lalu yang indah bersama sahabat-sahabat.

2 komentar:

  1. sayang sekali, mbah Imam sudah tiada dan rumah beliau yang penuh dengan karya seni itu telah hanyut terkikis arus dari air monthel itu sendiri.

    (ranger biru)

    BalasHapus
  2. Juga tak banyak yang tahu atau paling nggak mengenang beliau, bahwa pernah ada dan menjadi bagian dari alam Muria.

    (Harimau Sabatus)

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Friends