Jumat, 21 Januari 2011

GARA-GARA PECAHAN BELING

Seperti biasa, pelajaran keterampilan penuh dengan tugas kreatifitas. Guruku yang paling hobi dengan tugas yang berjiwa seni adalah Bu Siswati, guru yang mengajar di kelas 4 SD 1 Colo. Masih ingat sekali bermacam-macam pernak-pernik tercipta berkat asuhan beliau. Semisal tongkat kayu buatan sendiri, meskipun ada salah satu teman yang cukup ngambil dagangan bapaknya. Tapi itu bukan dari kalangan teman sekelasku. Sementara yang lain ada yang membuat pedang-pedangan yang terbuat dari kayu. Kayu tersebut, yang sudah menjadi barang kerajinan dipercantik lagi dengan warna-warni cat dari sumba (bahan pewarna makanan). Memori itu semakin menarik jika diingat-ingat saat mengerjakan tugas tersebut. Terutama saat pencarian bahan. Betapa kita harus berjuang mandiri untuk mendapatkan bahan-bahan itu tanpa melibatkan seseorangpun kecuali masing-masing kelompok.
Bahkan orang tua pun tak ikut campur. Berbeda sekali dengan anak zaman sekarang yang apa-apa serba orang tua. Masih teringat jelas ketika ada tugas membuat kerajinan tangan dengan berbagai macam bahan. Aku dan teman-teman merasakan bagaimana memutar otak untuk mencari bahan semisal aluminium foil pada bungkus rokok untuk membuat replika binatang dan buah-buahan, mencari bekas bungkus rokok untuk membuat lampion, mencari tanah liat untuk membuat asbak, mencari bambu untuk membuat vas bunga dan tempat pulpen dan banyak lagi tantangan-tantangan yang membutuhkan petualangan untuk mendapatkannya. Namun, umumnya semua dapat berjalan lancar meski meninggalkan satu cerita yang dulu sempat membuat wajah memerah, hati ketar-ketir, dan segudang rasa takut pun sulit untuk diredam waktu itu. Namun, sekarang cerita itu justru menjadi sangat lucu jika diterawang ke masa lalu. Tepatnya saat aku duduk di kelas 5 SD 1 Colo. Wali kelas lima adalah Bu Sri Subekti. Beberapa hari sebelum Bu Bekti cuti karena kehamilannya, beliau memberikan tugas kepada kami untuk membawa pecahan beling. Beling apa saja tetapi lebih utama adalah pecahan beling piring. Selain pecahan beling juga di haruskan membawa semen kira-kira 1 kantong plastik kresek hitam. Sudah di jelaskan pula nantinya pecahan beling itu akan dibuat menjadi sebuah vas bunga. Tapi kami belum tahu vas bunga yang seperti apa yang dimaksud. Dulu terasa sulit sekali mencari pecahan-pecahan seperti itu. Padahal aku sudah mengosek sampai ke belakang warung-warung di lapangan parkir Colo. Bahkan, sampai ke sungai-sungai dekat perumahan warga. Hasilnya tetap nihil. Aku tidak mendapatkan apa-apa sedangkan satu hari lagi sudah harus mengumpulkan bahan. Keesokan harinya, pengumpulan bahan pun dilaksanakan. Mas Tri dan Sofik yang kemarin juga belum mendapatkan bahan, cukup beruntung karena pagi hari sebelum bel masuk kelas, mereka berhasil mendapatkan bahan berupa pecahan piring kecil (cawan) yang ditemukan di kebun persis di samping sekolah. Mereka cukup lega sementara aku masih kebingungan tidak kunjung mendapatkan bahan. Jam masuk pun terjadi. Bu Bekti masih belum berangkat sebelum kelahiran anaknya. Untuk itu, Bu Sis yang menangani kelas lima. Mati aku. Ternyata pengumpulan bahan itu, siswa  ditunjuk satu persatu karena ada penilaian juga. Kontan saja aku mendadak kedinginan akibat derasnya keringatku yang terus mengucur. Perutku juga mendadak mual-mual pingin ke belakang. Aduuuh...gawat kalau aku sampai ketahuan tidak membawa tugas itu. Panggilan sesuai nomor urut absen membuat aku lebih awal di panggil oleh Bu Sis untuk maju ke meja guru beserta tugas yang diintruksikan. Busyet! Jantungku seakan berdegup kencang sambil membayangkan pandangan mata Bu Sis yang tajam. Aku cukup membayangkan saja takutnya minta ampun apalagi harus berhadapan langsung di depan Bu Sis. Kiamat. Otakku sudah buntu, namun aku masih mencoba memutar otak agar kesalahanku tidak dipersalahkan. Aku takut salah. Sesaat sebelum aku dipanggil aku sudah bernego dengan Sofik agar barang temuannya tadi biar aku bawa untuk dinilai atas namaku. Sofik pun mengijinkan. Segera setelah aku dipanggil, aku sambar sebungkus beling itu ke depan kelas menghadap Bu Sis untuk dinilai. Sampai disitu aku sudah agak lega karena proses penilaian tidak begitu lama. Aku kembali duduk dan kembali hati berdebar jika giliran Sofik mendaftarkan temuannya untuk dinilai. Giliran Sofik dipanggil untuk maju ke depan kelas. Dan yang terjadi, namaku dipanggil untuk yang kedua kalinya. Nada panggilan itu berbeda dengan nada panggilan yang pertama tadi. Ada sedikit bubuhan perasaan jengkel dari hati seorang Bu Sis. Ternyata Bu Sis masih ingat sekali dengan sosok bungkusan itu bahwa bungkusan itu sama persis seperti yang aku bawa sebelumnya. Padahal, sudah kubolak-balikkan posisi pecahan beling itu agar tidak terlihat sama. Kali ini memang benar-benar kiamat kedua untukku. Aku diintrogasi oleh Bu Sis tentang siapa yang berbuat curang diantara aku dan Sofik. Akhirnya akupun jujur dengan keadaan yang sesungguhnya bahwa aku belum membawa tugas itu. Kontan saja mukaku menjadi memerah karena perasaan malu dengan teman-teman maupun Bu Sis sendiri. Hasilnya, nilai yang sempat mengisi kolom daftar nilaiku kini dihapus lagi dengan tangan Bu Sis yang mungkin muak dengan kecuranganku.
Ini menjadi pelajaran moral yang sangat berarti bagiku bahwa kecurangan adalah perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan oleh siapapun dan untuk siapaun.

3 komentar:

  1. huahahaha... jadi inget masa kecil.

    kejadiane sih sbenernya biasa aja, tapi cara penyampaiannya yang hiperbolis, dramatis tapi tetap realistis membuat cerita itu terkesan hidup. seolah aku ikut kembali ke masa lalu dan hidup di dalamnya.

    (Andrea Hirata - penulis)

    BalasHapus
  2. Mengenang masa lalu memang asyik, membuat kita merasa muda terus...maksanya sich biar kita tetep awet muda.

    Thank you mister udah nyampein komennya bang Andrea Hirata, moga2 mister juga punya tanggapan yang sama.

    BalasHapus
  3. judi sabung ayam
    Seperti biasa, pelajaran keterampilan penuh dengan tugas kreatifitas. Guruku yang paling hobi dengan tugas yang berjiwa seni adalah Bu Siswati

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Friends