Tiba pada hari pengumuman. Amoy dengan santainya menuju papan pengumuman. Melangkahkan kakinya seperti tak menghargai dirinya. Seakan sudah pasrah dengan hasil pengumuman pembagian kelas jurusan itu. Memang begitulah pembawaannya. Masa bodoh dan keras kepala.
Apa reaksinya setelah diketahuinya bahwa dirinya mendapat kursi di kelas IPS pada kasta terendah? Amoy bahkan tetap tersenyum bangga, seperti Cintya yang tak percaya dirinya masuk di IPA 2. Entah perkara apa yang membuat Cintya berhasil dengan mulus masuk ke ruangan yang penuh dengan piala olimpiade fisika itu. Padahal, pak Supriyanto, guru fisika , adalah guru yang paling tidak disukainya. Amoy tak mau ambil pusing meski dalam benaknya ada yang tak beres dengan kasus Cintya. Pak Herly adalah guru BK di sekolah itu dan Cintya adalah anak kesayangannya. Otak detektif Amoy pun menyimpulkan kalau pak Herly itu guru BK yang tidak mengetahui pekerjaannya. Amoy bukannya iri dengan nasib Cintya yang mulus-mulus saja hidupnya. Amoy hanya tak habis pikir, apa Cintya tidak merasa dirinya telah memaksakan diri? Dan Bapaknya yang seharusnya mengetahui psikologi bahkan lebih tunduk dengan gengsi.
Kelas sudah dibagi sesuai jurusan masing-masing. Amoy sudah teronggok di kursi paling belakang ruangan IPS 12. Itu adalah kelas kasta terendah hasil seleksi selama belajar di kelas sepuluh. Adanya penjurusan berarti juga akan ada perubahan teman kelas karena harus menempati jurusan masing-masing dan kelas baru yang ditentukan pihak sekolah. Namun, di IPS 12 sepertinya tak ada perubahan sama sekali. Merry, Novi, Ita, Shofa dan Minah adalah teman segerombolan Amoy . Mereka tetap bertemu lagi di kelas yang baru. Hanya ada lima wajah baru dan selebihnya adalah mantan penghuni kelas X.20. Lima wajah baru itu sudah pasti hasil saringan dari beberapa kelas yang nasibnya tidak memihak menggantikan lima siswa X.20 yang berhasil naik kasta. Lima siswa itu sudah memboyong tasnya di IPS 11. Jadi masih sebelas duabelas dengan kelas Amoy .
Hari hari awal masuk sekolah menjadi peluang pulang lebih awal. Gemuruh kegembiraan menyambut intruksi pak Iskandar yang mengumumkan siswa boleh berkemas untuk pulang ke rumah masing-masing.
“Mbak, ambil titipan!”
“Oh, iya. Itu masih di atas meja,”
“Tak ambil ya, makasih,” dengan terburu-buru, Amoy menyambar barang yang tadi pagi dititipkan ke mbak Atim. Tubuhnya yang kecil mungil kelihatan bersemangat menjinjing bungkusan itu. Ia memang sudah terbiasa membawa bungkusan itu. Sampai depan kantor guru, mendadak ada yang memanggil namanya.
“Moy….!”
Seperti mendapat angin segar, mata Amoy segera menelusuri sumber suara itu. Telinganya sudah mengenali suara serak-serak basah itu dengan baik. Matanya pun memancarkan aura kebahagiaan seperti seekor elang yang melihat mangsanya. Itu adalah suara Bu Erni. Bu Erni belum terlihat oleh mata Amoy . Namun, suara serak-serak basah itu telah ditelusurinya keluar dari celah pintu kantor guru. Beberapa detik kemudian Bu Erni keluar dari ruangan kantor membawa tubuhnya yang gendut menghampiri Amoy .
“Pesanan Ibu sudah kamu bawa kah, Moy?” tanya bu Erni disela-sela perjalanannya yang melelahkan menghampiri Amoy .
“Pasti, Bu,” Amoy meletakkan bungkusannya yang kira-kira sebesar empat kali besar tas ranselnya. Terlihat Bu Erni tersenyum puas mendengar jawaban Amoy . Belum sempat Bu Erni sampai ke tempat Amoy bertengger, mendadak Amoy sudah dikerumuni banyak orang. Kebanyakan adalah perempuan. Termasuk Bu Kepala Sekolah juga sudah kelihatan sibuk membolak balikkan selembar kain batik warna terang.
“Itu model terbaru Bu, cocok untuk segala usia. Kalau untuk Ibu cocoknya kalau dibuat model seperti baju yang sekarang ibu pakai. Nah, kalau pas ada kondangan gitu kan Bu, atau rapat-rapat di Kabupaten, Ibu bisa pakai ini. Kesannya tetap mewah meski terlalu sering dipakai berulang-ulang.” Rentet amoy. Bu Kepala Sekolah masih sibuk dengan kain batik di tangannya dan tak menghiraukan rentetan Amoy yang berbau promosi itu.
Dari sebelah kanan Amoy juga sudah berjejal teman-temannya. Mereka juga sibuk menyeleksi barang dagangan yang didasarkan di halaman samping kantor.
“Moy, besok bawain jilbab, ya!” pinta salah satu teman Amoy .
Begitulah kesehariannya selama ini di sekolah. Amoy memang gemar berdagang.
Pendapatan hari ini cukup lumayan. Bu Erni tadi membayar kontan jilbab model orangBanjarmasin yang kemarin dipesannya. Bu kepala Sekolah juga akhirnya membayar tunai kain batik yang tadi lama sekali digerayanginya mencoba mencari-cari cacat kain batik itu, berharap dapat potongan harga. Di gang menuju jalan raya juga sempat dihentikan Andre. Lumayan dapat uang cicilan dari Andre. Seminggu yang lalu Andre mengkredit celana dalam seperti kebiasaan anak kos kebanyakan.
Pendapatan hari ini cukup lumayan. Bu Erni tadi membayar kontan jilbab model orang
Pelajaran Akuntansi terasa sangat membosankan. Menghitung uang tapi tak pegang uang, Membingungkan, membuang-buang waktu dan menguras pikiran dan tenaga saja. Bu Puji Astuti, S. Pd, meski terkenal sebagai guru raja tega, bahkan tak mampu menjadi air bagi Amoy untuk menelan formula neraca saldo yang terasa sangat pahit. Amoy sendiri heran dengan dirinya. Mengapa dia tak mampu mengerjakan tugas semacam membuat jurnal umum, mengolah angka-angka logaritma, mengahafal nama-nama kerajaan bahkan tugas mengarang selembar folio-pun seperti terasa membuat novel.
“Dasar otak udang!” Begitu Bu Erni sering menyebutnya dengan ceplas ceplos. “Kamu ini cewek, kok bodohnya minta ampun.Ada yang salah dengan makananmu?”
Hingga saat pembagian raport. Orang tua yang diharuskan mengambil. Semester pertama di kelas 11 ini ibunya yang mengambilkan buku nilai hasil belajar itu. Ibunya pun merasa dipermalukan di kelas IPS 12 karena Amoy berada di peringkat paling buntut dari 30 siswa. Semua nilai berata-rata enam dan mendapat surat peringatan resmi dari sekolah. Inti surat peringatan itu adalah agar Amoy segera memperbaiki diri agar lebih baik jika semester depan tidak mau dikeluarkan dari sekolah. Itu adalah peraturan sekolah yang tidak bisa ditawar dan sudah berlaku turun temurun. Kenaikan kelas ke kelas 12, setiap siswa diwajibakn mengantongi nilai rata-rata semua pelajaran minimal tujuh. Di bawah itu meski hanya terpaut nol koma, resikonya adalah tetap dikeluarkan dari sekolah. Sebuah keputusan ekstrim yang sudah menelan banyak korban. Alasannya, sekolah yang dihuni oleh Amoy adalah sekolah favorit bertaraf internasional. Jadi pihak sekolah harus tetap menjaga kualitas kelulusan dan popularitasnya di dunia internasional. Untuk membersihkan kotoran dalam sekolah favorit, maka siswa yang tidak bisa sembuh itulah yang akan disapu dari sekolah dan dipindah ke sekolah lain yang membutuhkan. Dari 20 kelas yang rata-rata berisi 30 siswa sudah barang tentu melalui seleksi yang ketat. Tapi dari 20 kelas itu, ada 3 kelas jalur tol khusus yang memberi kesempatan siswa untuk memperbaiki diri. Amoy masuk dalam daftar kelas jalur tol itu. Jadi amoy, mau tidak mau harus mengikuti catatan yang ditulis wali kelasnya di buku raport, kalau semester depan masih ingin duduk di sekolah favorit itu.
“Mama nggak habis fikir, Moy. Padahal Mama lihat kamu sering membeli buku ini itu. Mama kira kamu ya udah bisa mawas diri.” Gerutu mamanya agak ngotot setibanya di rumah.
“Udah deh, Mama nggak usah ngomel terus, Amoy janji bakal belajar lebih rajin lagi” jawab Amoy ringan untuk yang kesekian kalinya setiap mamanya memberi petuah.
“Mana janjimu, Moy?” protes mamanya. “Janji kamu nggak pernah bener”
“Iya, Mama. Janji, kali ini Amoy bener-bener janji” seraya mengacungkan kedua jarinya.
“Awas, ya kalau ngecewain Mama lagi”
“Peace....!”
Semester Empat.
“Dapat berapa, Moy hari ini?” tanya Marga setiap kali diajak menghitung keuntungan.
“Pas pelajaran sejarah tadi sempet tak hitung. Dapat 370.000 rupiah. Istirahat tadi banyak yang nggak keluar sih. Jadi menurun dech. Di tambah ini tadi, dapat 420.000 rupiah. Total 790.000 rupiah. Untungnya sekitar dua ratus ribuan.” Amoy berpanjang lebar menghitung keuntungannya. Marga ikut gembira, karena sudah pasti semangkok baso bakal mengisi perutnya yang kosong secara gratis.
“Kamu jadi nemenin aku beli buku kan , Ga?”
“Pastinya, perutku kan emang udah minta diisi dari tadi,” jawab Marga ringan.
“Tuch, kamus bahasa Inggris, makan!” sembur Amoy .
“Maksud lo!” Marga merasa kebingungan dengan cerocos Amoy merasa jawaban itu tak searah dengan apa yang diharapkan. Amoy terpaksa mengulangi pertanyaan yang pertama dilontarkannya. Marga yang bawaannya tomboy pun ngakak menertawai dirinya sendiri.
“Aduh, Moy. Maklum lambungku sudah pada demo minta segera diisi, Moy.” Marga membela diri. “Ntar aku yang bawain bungkusanmu.”
“Tenang, ntar beli baso. Tapi sekalian aku anter ke tempat biasa ya?”
“Sip!”
Marga mengelus-elus perutnya yang kurang kenyang. Semangkok baso di warung bang Somad memang selalu membuat ketagihan. Selain dari rasanya yang enak, tetapi juga porsinya itu yang selalu ingin nambah. Sedikit pelit sih. Basonya sedikit, orangnya pelit. Harganya juga rumit. Kalau hatinya lagi adem, tak jarang suka main diskon. Tapi kalau lagi mendung ya keluar pahitnya.
“Bang, habis berapa?” tanya Amoy sedikit berharap dapat diskon.
“Tambah es jeruk dua ya? Empat belas ribu,” sahut bang somad dari depan kebulan uap kuah baso yang mendidih.
“Nggak dikorting, Bang?” terka Amoy mempromosikan harapannya.
“Korting apaan? Belum dapat duit, mana bisa kasih kortingan,” protes bang Somad.
“Iya-iya, cuma bercanda aja ko, Bang.”
Marga tersenyum melihat raut muka bang Somad, persis seperti raut muka Amoy kalau lagi keluar pelitnya.
Seperti yang Marga janjikan, dia bakal membawakan sisa dagangannya kalau sudah beres urusan perutnya. Marga juga sudah terbiasa menjinjing bungkusan itu. Ke toko buku, bahkan ke tempat yang dulu sangat disingkirkan jauh-jauh dari kehidupannya. Kawasan kumuh blok Cempaka. Memang tempat itu tak secantik namanya. Apalagi baunya yang sekelas dengan pasar ikan. Membuat Marga dan terlebih Amoy sangat masa bodoh dengan tempat itu. Bahkan dianggapnya hanya sebuah kata yang kelebihan huruf dan harus segera dihapus dari monitor. Tak berfikir huruf lebih itu bisa diedit untuk dirangkaikan ke dalam kata yang lain. Dilihat dengan mata telanjang kawasan itu memang tidak sedap dipandang. Apalagi jika harus menjamahnya. Namun, semua vonis bersalah yang selama ini gencar diumpat-umpatkan lewat mulut Amoy dan Marga , kini berubah. Bahkan Amoy bersama Marga berjuang mati-matian membela kawasan itu.
Motor matic milik Amoy pelan-pelan belok kiri memasuki sebuah gang kecil menuju kawasan kumuh. Ada sebuah jembatan kecil menyebrangi sungai. Amoy tampak sudah lihai melewati jembatan bambu yang umurnya sudah tahunan itu. Dulu, Marga masih menutup matanya,hidungnya, seraya menggigit bibirnya saat menyeberangi sungai itu. Bau menyengat sudah mulai mengusik hidung mereka. Namun, sekarang mereka sudah tak lagi protes dengan menutup hidung. Mereka sudah terbiasa bahkan sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Harapannya, dengan ringan tangannya akan membawa perubahan di kawasan kumuh itu.
Di ujung jalan sudah tampak segerombolan anak-anak. Mula-mula, ada lima orang anak berdiri dari kejauhan dan terus bertambah lagi. Mereka berlarian entah dari mana dan bergabung dengan gerombolan lima orang tadi. Mereka melambaikan tangan dari kejauhan seakan menyambut gembira kedatangan Amoy . Memang benar, mereka menyambut kedatangan Amoy . Ini hari Sabtu. Mereka tahu hari ini Amoy akan datang membawa kabar gembira untuk mereka. Kabar yang sangat sulit didapatkan oleh mereka.
“Kak Amoy, besok kesini lagi kan ?” tanya salah seorang anak dengan mata tersayu-sayu.
“Pasti, Kakak pasti kesini lagi. Kakak janji akan bawakan buku lagi yang banyak buat kalian,” jawab Amoy serius.
Salah seorang yang lain juga angkat bicara.
“Kak, aku belum faham bedanya bentuk present tense dengan present continous tense?” tanya Boni sangat antusias. Boni memang cerdas. Untuk anak normal dia sudah duduk di bangku kelas 9 SMP. Kebetulan hidupnya tidak normal karena tak ada biaya untuk mengenyam pendidikan formal.
“Oh, itu? Itu kan nada rumusnya…” Amoy tidak melanjutkan jawabannya lalu melirik ke arah Marga. Marga sudah mengetahui gelagat Amoy, bahwa dia lah yang harus menjawab pertanyaan itu. Buku raport Amoy yang dibagikan semester lalu terpajang angka 6 di kolom mata pelajaran bahasa inggris. Dan itu sangat meyakinkan ada unsur sumbangan dari gurunya. Itu sebabnya Marga menjadi sangat penting keberadaannya.
Tak terasa semester empat sudah hampir diresmikan dengan ritual pembagian buku raport. Kali ini masih mamanya yang mengambilkan buku raport itu. Ayah amoy memang jarang di rumah karena sibuk dengan mega proyeknya di Kalimantan . Kali ini saja, mamanya yang harus bertolak dari Balikpapan menuju Surabaya hanya karena diminta untuk mengambilkan buku raport kenaikan kelas. Semoga tak mengecewakan. Itu doa mamanya selama di perjalanan. Dan hasilnya.
“Kamu harus ikut Mama ke Kalimantan dan sekolah di sana ,” gempur mamanya setiba di rumah.
“Kenapa harus Kalimantan , Ma?” Amoy memprotes keras keinginan mamanya.
“Di sini kamu tidak ada yang ngurus. Hasilnya, kamu asal-asalan saja sekolahnya,” mamanya makin ngotot.
“Aku akui, Ma. Kalau Amoy ini memang bodoh dan berotak udang. Tapi Amoy tetap punya perasaan, Ma.” Rentetnya dengan mata mulai berkaca-kaca. “Amoy tetap di sini karena Amoy merasa bahagia di sini.”
“Bahagia telah mempermalukan orang tuamu, apa sih mau kamu itu?” mamanya masih keras kepala.
“Itu cuma perasaan mama saja, Amoy nggak ada niat sedikitpun mempermalukan mama.”
Tampaknya Amoy memang keras kepala. Semua keputusan yang sudah menjadi keyakinannya tidak dapat diganggu gugat. Mamanya kembali ke Kalimantan dengan membawa sejuta kekecewaan. Kali ini doanya tidak terkabul tetapi doa selanjutnya ia berharap Amoy bisa menjadi lebih baik. Sedangkan Amoy tetap tinggal di Surabaya .
Sabtu siang. Amoy sudah mangkal di samping kantor guru. Menggelar dagangannya berharap laku keras hari ini. Bu Erni dan Bu Kepala sekolah adalah langganan tetap Amoy . Kini, mereka sudah mulai berani mengambil jalur kredit. Itu sebabnya Amoy terus mendatangi sekolah favorit itu. Beberapa temannya juga semakin rajin memesan baju-baju model terbaru. Berharap tiap hari bisa ketemu untuk sekedar membayar hutang dengan kedok reuni. Amoy Angelica. Sudah tak terdaftar lagi di sekolah favorit itu. Ia secara resmi dikeluarkan dari sekolah karena tidak mampu mengemban amanat. Ia adalah huruf lebih yang telah terhapus karena susah sekali dieditnya dan harus menerima aturan yang yang telah berjalan turun temurun itu.
“Ini berapa, Moy?” tanya Cintya di sela-sela kerumunan. Seper seribu detik sebelum Amoy menjawab pertanyaan Cintya, sempat muncul opini dalam benaknya. Rupanya Cintya masih bertahan setelah desas-desus nilai Fisikanya di bawah standar. Amoy berharap, dia tidak akan melihat Cintya Ratnalisti akan menjadi orang gila.
“Yang warna pink itu cuma dua puluh lima ribu aja, murah kan ?” Amoy, membuyarkan otak detektifnya.
Marga, meski sudah beda sekolah dengan Amoy , mereka tetap menjalani aktivitas seperti biasa. Membawakan bungkusan itu, makan baso bang Somad, ke toko buku bekas, dan mengunjungi kawasan kumuh yang sedikit telah berubah. Bau amis sudah berkurang. Ada warung makan yang bersih. Perubahan itu terlihat semenjak Amoy sering berkunjung ke kawasan itu. Dari buku-buku bekas yang sering di bawanya itulah yang memunculkan inspirasi masyarakat kumuh untuk hidup bersih. Anak-anak menjadi gemar membaca dan muncul tenaga kreatif yang bisa menghasilkan uang tanpa meminta-minta dan memulung. Semua dari buku-buku bekas.
Dan begitulah kehidupannya yang terus berjalan yang selalu membawa perubahan. Sejak lulus SMA, Amoy sengaja tidak melanjutkan kuliah. Bukannya tidak mampu membiayai tapi karena otaknya yang tidak mampu dibiayai. Dia memilih terjun langsung ke dunia usaha. Mempekerjakan 100 karyawan di pabrik konveksinya. Marga di tunjuk menjadi Bendahara karena kepiawaiannya mengolah formula neraca rugi laba dengan skala besar. Dan anak-anak gang itu bisa kembali sekolah karena orang tuanya telah bekerja di pabrik konveksi milik Amoy .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar